Perjumpaan Dialogal Iman dan Budaya
Minggu, 16 Februari 2020
Add Comment
16 Februari 2020 Minggu Biasa VI
“Aku datang bukan untuk meniadakan hukum
Taurat, melainkan untuk menggenapinya” (Mat 5:17)
“Perjumpaan
Dialogal Iman dan Budaya”
Sangat menarik perhatianku pewartaan Matius pada hari Minggu Biasa VI
ini. Kehadiran Gereja sejak awal mula merupakan perjumpaan dialogal antara iman
dan budaya. Dalam pewartaan Matius tampak jelas bagiku bagaimana tatanan nilai
dalam bentuk perintah larangan di tengah masyarakat Yahudi berjumpa dengan
tatanan yang pada akhirnya menggema dan menggeliat menjiwai hidup Gereja, yakni
ajaran dan hidup Yesus. Umat beriman tentu tahu bahwa bangsa Yahudi berpegang
teguh pada sepuluh perintah Allah. Proses perjumpaan dialogal terjadi dari
refleksi ajaran Yesus tentang “Jangan membunuh, Jangan berzinah, Jangan
bersumpah palsu”.
Ketiga perintah larangan tersebut tentunya terkait dengan betapa
berharganya hidup manusia di hadapan Allah. Bagaimana orang dapat menyembah
Allah jikalau tidak menghargai hidup manusiawi? Bagaimana orang dapat
menghargai hidup manusiawi jikalau tidak dapat menghargai hidupnya sendiri? ...
berbagai pertanyaan terkait penghargaan hidup manusiawi berseliweran di
benakku. “Membunuh” dapat diartikan sebagai berakhirnya hidup dengan paksa.
Seorang anak manusia tidak hanya hidup secara fisik-biologis. Keutuhan hidup
manusia terkait dengan berbagai dimensi hidupnya, terutama fisik-biologis,
psikis, dan sosial. Tuntutan atas “Jangan membunuh” haruslah diletakkan dalam
keutuhan dimensional hidup manusia itu. Orang tidak dapat dibenarkan untuk
mengintimidasi orang lain sehingga mengalami ketakutan luar biasa. Demikian
pula orang tidak dibenarkan tatkala menyingkirkan sesamanya dari kehidupan
bersama atau kehidupan sosialnya. Demikianlah perzinahan dan sumpah palsu harus
dimengerti. Dimensi sosial hidup perkawinan dirusak oleh hawa nafsu yang
mewujud dalam perzinahan. Seseorang tersingkir dari kehidupan sosialnya dengan “cap
tertentu” atas dirinya karena sumpah palsu dari seseorang atau sekelompok orang
yang dikenakan kepadanya.
Dalam konteks kehidupan umat beriman, bagaimana perjumpaan dialogal
antara iman dan budaya terjadi? Di tengah arus penurunan standar moral global,
adakah refleksi yang mengusahakan agar tatanan hidup umat manusia tidak hancur
karena penggerogotan dari (sebagian) umat manusia atas nilai-nilai hidup? Yesus
menyoroti emosi seseorang terhadap sesamanya. Kebencian yang mengakar dapat
berakhir dengan serangkaian pengakhiran hidup manusia. Perzinahan pun dapat
menjadi akar dari pembunuhan. Maka, kebersihan batin menjadi yang utama kalau
menilik refleksi-ajaran Yesus dalam mendialogkan perintah-perintah Allah dengan
realitas hidup pada masanya. Tentunya ini juga aktual dan relevan dengan kehidupan
umat beriman sekarang ini – di sini. Bagaimana? Selamat merenung. Tuhan
memberkati!
0 Response to "Perjumpaan Dialogal Iman dan Budaya"
Posting Komentar
Mohon berkomentar secara bijaksana, bersudut pandang positif dan menyertakan identitas di akhir komentar (walaupun fasilitas komentar tanpa nama). Satu lagi mohon tidak meninggalkan komentar spam !
Terima Kasih | Tim KOMSOS St. Albertus Agung Kota Harapan Indah