iklan banner

Liturgi sebagai Perayaan Iman

Dalam rapat-rapat seksi liturgi paroki, baik di kalangan para imam, dewan paroki, sering terlontar pendapat bahwa: Umat atau sie liturgi belum memahami makna liturgi misalnya: umat belum tahu apa artinya membuat tanda salib kecil di dahi, mulut dan dada ketika Injil akan dibacakan. Umat belum tahu apa artinya berlutut, membungkuk dalam rangka upacara liturgis. Petugas koor salah memilih lagu sehingga tidak sesuai dengan tema liturgis. Para ibu-ibu sibuk dengan doa Rosario saat perayaan ekaristi berlangsung. Umat datang terlambat pulang tidak mendapat berkat (artinya pulang duluan).


Kalau kita lihat bersama contoh di atas hanya berkenaan dengan berbagai makna upacara atau aturan yang dilakukan umat ketika mereka sedang beribadat. Persoalannya adalah:

Apakah liturgi dilihat hanya berkaitan dengan soal-soal aturan dan berbagai makna simbolis dan upacara ibadat?

Apakah liturgi hanya dilihat sebagai arti upacara dan aturan yang dilaksanakan di dalam upacara publik Gereja?

Apakah liturgi hanya dilihat sekadar sebagai kumpulan aturan ibadah?

Ilmu liturgi hanya dipahami sebagai ilmu tentang rubrik? Tentang aturan, bagaimana orang melaksanakan ibadat secara benar, sehingga ibadahnya afdol?

Intinya, ada kecenderungan umum kita melihat liturgi hanya dari segi-segi kulitnya, aturannya, rubriknya. Itu bukan berarti tidak penting, tetapi belum sampai intinya, hakikatnya, tentang liturgi yang sesungguhnya.

Liturgi Menurut Konsili Vatikan II 

Menurut Sacrosanctum Concilium (SC7): “Maka memang sudah sewajarnya juga bahwa liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing- masing; di situ juga dilaksanakan ibadat umum dengan cara yang seutuhnya oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni kepala beserta para anggotaNya.”

Apa isi tugas imamat Yesus Kristus? Dalam SC 5 terungkap: Karya keselamatan yang dilaksakan oleh Yesus Kristus, yaitu karya penebusan umat manusia dan pemuliaan Allah.

Apa yang dirayakan? Dalam SC 10 sangat jelas terungkap: “Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus. Karya keselamatan Allah yang dilaksanakan oleh Kristus itu kini senantiasa dikenang dan dihadirkan oleh Gereja di dalam Liturgi.”

SC 2; “Liturgi merupakan upacara yang sangat membantu kaum beriman untuk mengungkapkan misteri Kristus serta hakikat asli Gereja yang sejati”

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa pengertian Liturgi sebagai Perayaan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung dan bersama GerejaNya dalam ikatan Roh Kudus.

Dimensi Liturgi

Di atas kita bersama-sama memahami pengertian liturgi sebagai misteri keselamatan Allah dalam Kristus yang berupa pengudusan manusia dan pemuliaan Allah. Oleh karena itu, kita akan melihat bahwa liturgi memiliki dimensi- dimensi sebagai berikut:

Liturgi selalu dalam Persepektif Liturgi Trinitaris

Dalam perspektif iman kristiani, seluruh tindakan Allah dalam sejarah dan Gereja selalu dilihat secara Trinitaris. Oleh karena itu, misteri keselamatan Allah yang kita rayakan di dalam liturgi juga selalu merupakan tindakan trinitaris.

Allah Bapa tidak pernah berbuat sesuatu tanpa Putera dan Roh Kudus. Intinya apa yang direncanakan dan dilakukan Bapa selalu dikerjakan bersama Putera dan Roh Kudus.

Pemahaman dan keyakinan kita umat beriman tentang komunitas kasih trinitaris karena Allah yang mewahyukan diri dalam sejarah. Itulah sejarah keselamatan yang dimulai dalam rentang waktu Perjanjian Lama lalu mencapai puncaknya, ketika Sang Putera mengambil rupa dalam

daging (manusia) dan tinggal di antara kita. Dalam keseluruhan hidup Yesus, Dia selalu bersama Bapa yang disatukan oleh Roh Kudus. Bahkan ketika Yesus wafat di Salib, komunitas Kasih Trinitas tidak pernah putus. Pada saat wafatnya itu Sang Putera menyerahkan dirinya secara total kepada Bapa dalam Roh Kudus dan Bapa menerima menerima persembahan dan penyerahan Diri Putra ini dalam Roh Kudus juga.

Penerimaan Bapa atas penyerahan diri Putera dalam Roh Kudus itulah yang kita kenal dengan Paskah (kebangkitan). Jadi, peristiwa kebangkitan sebagai wujud penerimaan Bapa atas penyerahan diri Putera dalam Roh Kudus.

Dalam surat Ibrani 9,14 sangat jelas diungkapkan; “…..betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diriNya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercatat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup”. Dengan demikian, peristiwa Yesus Kristus (wafat dan bangkit dalam Roh Kudus merupakan peristiwa liturgi itu sendiri).

Dari penjabaran di atas bahwa liturgi sebenarnya sudah berlangsung sejak kekal untuk kekal dalam Trinitaris itu. Maka, konsekuensinya liturgi Gereja sebenarnya merupakan partisipasi kita dalam litrurgi Trinitaris itu sendiri. SC 8 dengan jelas merumuskan sebagai berikut: “bahwa liturgi di dunia ini kita mencicipi liturgi surgawi. Kepenuhannya nanti ketika Tuhan datang untuk kedua kalinya. Partisipasi kita menjadi mungkin berkat Roh Kudus”.

Liturgi sebagai Perayaan Misteri Paskah

Kita sudah menyinggung tadi bahwa Kristus telah menyerahkan diri secara utuh dan total kepada Bapa dalam Roh Kudus. Wafat dan kebangkitan Kristus inilah yang merupakan puncak misteri karya penyelamatan Allah. Misteri Paskah menjadi pusat seluruh liturgi Gereja.

Dalam SC 6 Gererja mengajarkan secara jelas: “Oleh Karena itu, seperti Kristus diutus oleh Bapa, begitu pula Ia mengutus para Rasul yang dipenuhi Roh Kudus. Mereka diutus bukan hanya untuk mewartakan Injil kepada semua makhluk, dan memberitakan bahwa Putera Allah dengan wafat dan kebangkitanNya telah membebaskan kita dari kuasa setan dan maut, dan telah memindahkan kita ke kerajaan Bapa; melainkan juga untuk mewujudkan karya keselamatan yang mereka wartakan itu melalui korban dan sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup liturgis. Demikianlah melalui Baptis orang-orang dimasukan ke dalam misteri Paskah Kristus: mereka mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Dia, mereka menerima roh pengangkatan menjadi putera, dan dalam roh itu kita berseru: Abba, Bapa (Rm 8,15); demikianlah mereka menjadi penyembah sejati, yang dicari oleh Bapa. Begitu pula setiap kali mereka makan perjamuan Tuhan, mereka mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang. Oleh Karen itu, pada hari Pentakosta, ketika Gereja tampil di depan dunia, mereka menerima amanat Petrus “dibaptis”. Dan mereka

‘bertekun dalam ajaran para Rasul serta selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa….. sambil memuji Allah, dan mereka disukai seluruh rakyat (Kis 2, 41-47). Sejak itu Gereja tidak pernah lalai mengadakan pertemuan untuk merayakan misteri Paskah.”

Liturgi sebagai Tindakan Kristus dan Gereja

Seperti ditegaskan dalam SC 7 bahwa liturgi dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus, yakni Kristus Sang Kepala dan Gereja, TubuhNya. Berarti subjek liturgi adalah Kristus dan Gereja. Liturgi adalah tindakan Kristus sekaligus tindakan Gereja. Dalam liturgi Kristus bertindak melalu dan bersama Gereja, sekaligus dalam liturgi yang satu dan sama Gereja bertindak melalui dan bersama Kristus. Pernyatan itu sangat jelas dalam Doxologi apada akhir Doa Syukur Agung:

“Dengan perantaraan Kristus dan bersama Dia serta bersatu dalam Roh Kudus, kami menyampaikan kepadaMu, Allah Bapa yang mahakuasa, segala hormat dan pujian, kini dan sepanjang segala masa.”

Pertanyaannya adalah bagaiman Kristus memimpin liturgi Gereja? Jawabannya adalah melalui kehadiranNya baik dalam pribadi pelayan maupun rupa Ekaristi. Dalam SC 7 terungkap; “Dengan kekuatanNya Ia hadir dalam Sakramen-sakramen sedemikian rupa, sehingga bila ada orang yang membaptis, Kristus sendirilah yang membaptis. Ia hadir dalam sabdaNya, sebab ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja”.

Lalu bagaimana liturgi juga disebut sebagai tindakan Gereja? Apakah Gereja sebagai subjek tiruan atau imitasi? Bukan. Dalam liturgi Gereja juga sebagai subjek liturgi, namun di sana Gereja mempersembahkan Kristus, Tuhan dan Kepalanya kepada Allah dalam persatuan Roh Kudus sekaligus Gereja juga mempersembahkan dirinya sendiri bersama Kristus. Ungkapan yang sangat nyata ada dalam DSA III:

“Bapa, terimalah persembahan GerejaMu ini sebagai kurban sejati, yakni PuteraMu sendiri, yang telah mendamaikan kembali kami dengan Dikau berkat kematiannNya”. Seterusnya Gereja berdoa:

“Terimalah kami juga sebagai persembahan yang kekal bagiMu, sehinga kami dapat memperoleh kebahagiaan abadi bersama orang-orang pilihanMu, terutama bersama Santa Maria, perawan dan Bunda Allah, bersama para rasulMu yang kudus, dan para martirMu yang jaya dan semua orang kudus.”…… bersama Bapa Suci… dan Uskup kami…… bersama semua uskup, semua rohaniwan, serta seluruh umat kesayanganMu”.

Upacara-upacara liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni umat Kudus yang berhimpun dan diatur di wilayah par Uskup. Tidakan Gereja dalam liiturgi itu yang merupakan bentuk pemuliaan Allah selalu harus dimengerti dengan perantaraan dan bersama Kristus serta dalam persatuan Roh Kudus.

Liturgi sebagai Fungsi Dasar Gereja

“Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu umat beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan misteri Kristus serta hakikat asli Gereja sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang- orang lain, yakni Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan ilahi, kalihatan namun penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir… Liturgi setiap hari membangun mereka yang berada di dalam Gereja menjadi kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh, sampai mereka mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus” (SC 2).

Dengan kata lain, Gereja menyatakan dirinya dan menampakkan dirinya dalam liturgi. Dengan liturgy muncullah Gereja, Karena liturgy membangun Gereja. Dalam dokumen Konsili Vatikan II LG 26 sangat jelas: bahwa jemaat yang berhimpun di sekitar altar Tuhan atau sedang merayakan Ekaristi, menghadirkan dengan sebenarnya Gereja Kristus. “Di setiap himpunan di sekitar altar, dengan pelayanan suci uskup, tampillah lambang cinta kasih dan kesatuan Tubuh mistik itu, sayarat mutlak keselamatan. Di jemaat-jemaat itu, meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus.”

Gereja adalah pertemuan umat yang dipanggil dari dunia ini oleh Allah melalu Kristus dalam Roh Kudus bagi pelayanaan Allah atau liturgi. Dengan demikian, liturgi menjadi “tempat lahirnya” Gereja. Dalam liturgi wajah Gereja dinampakkan.

Semua kegiatan dan fungsi gereja memiliki arah dan tujuan satu dan sama, yakni perayan misteri karya keselamatan Allah yang berupa pengudusan manusia dan pemuliaan Allah. Liturgi menjadi fungsi dasar gereja karena karena liturgi bersangkut paut secara langsung dengan perayan misteri iman, yang dalam kegiatan gerejani yang lain dipersiapkan, dibina, dan diperdalam. Prinsip dasar yang membuat umat beriman menjadi Gereja dalam liturgi bukan karena diri umat tersebut, melainkan karena Kristus hadir dalam liturgi itu. Kristus yang hadir itulah yang memanggil, memilih, dan, mengumpulkan umat dalam pertemuan (ekklesia) bagi pengudusan manusia dan pemuliaaan Allah.

by Anna WS, Guru SMA Kolese Kanisius Jakarta


0 Response to "Liturgi sebagai Perayaan Iman"

Posting Komentar

Mohon berkomentar secara bijaksana, bersudut pandang positif dan menyertakan identitas di akhir komentar (walaupun fasilitas komentar tanpa nama). Satu lagi mohon tidak meninggalkan komentar spam !

Terima Kasih | Tim KOMSOS St. Albertus Agung Kota Harapan Indah

text gambar text gambar text gambar text gambar text gambar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel